Senin, 06 Januari 2014

Kapolri Sutarman: Untung Gus Dur Tak Mengatakan Saya Presiden

Jakarta, NU Online
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Sutarman hadir di Ciganjur, Sabtu (28/12) malam dalam acara puncak haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama sejumlah pejabat dan politisi penting negeri ini antara lain Akbar Tanjung, Prabowo Subianto, Djan Farid, dan Basuki Tjahaya Purnama.

Jenderal Sutarman pernah menjadi Ajudan Prediden RI pada saat Gus Dur menjabat presiden. “Saat Gus Dur dilengserkan, semua orang pada menghindar, Pak Sutarman tetap setia mendampingi Gus Dur,” kata Yenny Abdurrahman Wahid saat menyampaikan sambutan atas nama keluarga.

Gus Dur menjabat sebagai presiden saat bangsa Indonesia sedang memasuki era demokrasi yang sebenarnya. Masyarakat dan mahasiswa mulai bebas menyampaikan aspirasinya di hadapan umum.

“Gus Dur telah mencanangkan era reformasi, dan saat itu polisi juga sedang belajar bagaimana mengawal masyarakat dan mahasiswa yang sedang menyampaikan aspirasinya,” kata Sutarman saat menyampaikan testimoninya.

Namun betapapun Gus Dur mengawal demokrasi dan terpilih secara demokratis, Gus Dur dijatuhkan dari kursi kepresidenan dengan cara yang menyakitkan. Paling tidak ini yang dirasakan para pengawal dan orang dekatnya. Namun kepada para polisi itu Gus Dur mengatakan, “Biarlah saya menjadi presiden Indonesia terakhir dijatuhkan. Jangan ada presiden setelah saya yang diturunkan di tengah masa jabatan,” kata Sutarman.

Dari sekian cerita Jenderal Sutarman, ada yang menarik disampaikannya. Ternyata benar, jauh-jauh hari Gus Dur telah meramalkannya kelak ia akan menjadi Kapolri.

“Gus Dur mengatakan bahwa saya akan menjadi Kapolda, lalu menjadi Kapolri. Padahal waktu itu menjadi Kapolda saja saya tidak kepikiran. Dan ternyata benar saya menjadi Kapolri sekarang. Untung saja Gus Dur waktu itu tidak mengatakan saya jadi presiden karena ucapan Gus Dur itumandi (ampuh). Saya katakan karena di sini banyak wakil presiden,” katanya.

Ia melanjutkan, Gus Dur pernah memberikan ijazah (doa) kepadanya untuk diamalkan, dan menjelang pemilihan Kapolri doa itu dibacanya berulang-ulang. “Akhirnya Pak SBY bingung lalu memilih saya,” katanya disambut riuh ribuan jamaah yang memadati halaman kediaman keluarga Gus Dur, masjid Al-Munawwarah, komplek Yayasan Wahid Hasyim dan Pesantren Ciganjur, hingga ke lapangan dan jalan raya.

Sebelumnya dibacakan tahlil yang dipimpin oleh KH Aziz Masyhudi dari Denanyar Jombang. Ketua Umum dan mantan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan KH Hasyim Muzadi hadir bersama para jamaah untuk mendoakan Gus Dur. (A. Khoirul Anam)

Gus Mus: Islamnya Gus Dur, Islam Cinta

Yogyakarta, NU Online
Bagi Wakil Rais Aam PBNU KH A Musthofa Bisri yang kerap disapa Gus Mus, Islamnya Gus Dur adalah Islam yang sarat dengan cinta. Karena Gus Dur menyadari semua manusia di dunia sebagai saudara. Semua manusia adalah anak-cucu Nabi Adam.

“Gus Dur tidak penah membenci maupun mengucilkan sebuah golongan atau komunitas. Karena, Gus Dur melihat mereka sebagai manusia, bukan sebagai orang kafir,” kata Gus Mus pada acara hau ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Yogyakarta, Senin (16/12).

Gus Mus juga menyampaikan, Gus Dur adalah sosok yang mencintai Indonesia sebagai orang Indonesia. Pemahaman Islam ini mengantarkan Gus Dur menjadi guru bangsa.

Gus Dur orang yang menyadari, menghayati dan mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Inilah wujud dari hubbunnas, cinta sesama manusia. Banyak orang yang sadar atau mampu menghayati nilai Islam. Namun tidak sedikit pula yang tidak bisa mengamalkan nilai itu, tegas Gus Mus.

Gus Mus tidak bisa hadir dalam acara haul di Yogyakarta. Namun pesan Gus Mus dalam video yang diputar panitia haul diterima dengan baik oleh para hadirin.

Kenapa Gus Dus dicintai banyak manusia? Karena Gus Dur mencintai manusia, tandas Gus Mus dalam video dalam peringatan haul ke-4 Gus Dur. (Muyassaroh H/Alhafiz K)

Tiga Tahun Wafatnya Gus Dur; Kesaksian Seorang Santri

Sejak dulu kami sudah mendambakan nyantri di pesantren dirian Hadratus Syaikh KH Muhamamd Hasyim Asy’ari ini. Kemasyhurannya tidak terbantahkan bahan sempat sebagai markas utama kemerdekaan RI. Alhamdulillah, tuhan mengabulkan niatan itu. Kami menempuh pendidikan Aliyah dan kuliah di Pesantren Tebuireng hingga kini.

Tak hanya masjid, asrama, di pesantren ini juga terdapat kompleks pemakaman kelurga besar Tebuireng. Kiai Hasyim, putra & menantu. Yang membanggakan lagi, pesantren ini menyimpan buku-buku tokoh tersebut. Kami bersentuhan langsung dgn kitab-kitab KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat kuliah di Baghdad.

Sejak itulah, kami semakin takjub dengan sosok Gus Dur. Ternyata tidak hanya memimpin bangsa adil, jenius, melainkan intelektual muslim besar. Buku-buku Gus Dur lebih banyak berbahasa Arab, bertemakan kesusastraan, antologi puisi pra Islam, filsafat dan lainnya. Kami baca perlahan meski kesulitan.  Kami juga menemukan berkas-berkas alm Gus Dur saat menjabat sebagai sekretaris pesantren (1985). Makalah seminar, jadwal kuliah, note book pribadi. Sampai suatu saat kami berangan-angan seandainya Gus Dur masih dsini, pasti kami bisa mengaji ilmu kepadanya.

Namun kami paham Gus Dur tidak hanya milik pesantren, keluarga dan Jombang, tapi melainkan Gus Dur milik umat & rakyat yang kehadirannya selalu dibutuhkan diamana-mana. Sesekali Gus Dur mengunjungi pesantren ini untuk silaturrahim dan  berziarah ke para leluhur. Terakhir seminggu sebelum beliau wafat. Kesempatan yang luar biasa sekali kami ikut dalam tahlil malam itu, didampingi Gus Sholah, Nyai Farida dan para asatidz.

Seminggu kemudian, kami menerima kabar yang sangat menyedihkan. Bahwa Gus Dur  wafat. Saat itu kami sedang belajar di bangku Diniyah maghrib. Para asatidz keluar kelas. Dan masjid pesantren bergema melantunkan surat Al-Ikhlas. Kami tak mengira malam itu adalah malam terakhir kami bersama Gus Dur ketika tahlil bersama di makam Pesantren Tebuireng dan Madrasatul Quran pukul 01.00 dini hari.

Esoknya pesantren kami ramai dengan ribuan tamu tak dikenal. Ada wartawan, polisi, para tamu berbusana militer, tokoh lintas agama, menteri, dan lainnya. Bahkan santri-santri yang berada di dalam pesantren diminta untuk keluar area pesantren demi keamanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hendak memimpin jalannya upacara pemakaman.

Kami sebagai santri plus wartawan cilik pesantren menemui tokoh-tokoh besar yang hadir hari itu. Kami wawancara mereka sebagai testimoni. Masjid terus mengumandangkan surat al-Ikhlas. Langit yang semula cerah berubah mendung menyambut jenazah Gus Dur. Kami bergetar. Di pusara makam, ada sosok Mbah Liem (alm) yang cukup aneh; beliau mengitari makam sambil berbicara sendiri. Entah apa maksudnya, penuh misteri. Jasnya diberikan kepada seorang santri yang kini ia sukses di karir akademiknya di luar Jawa.

Kira-kira menjelang dhuhur, jenazah almarhum Gus Dur datang, setelah dishalati di Masjid pondok putri. Kondisi semakin riuh dgn isak tangis. KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) berbaju hitam tampak betul-betul sedih sahabat sejatinya wafat. Beliau berlari-lari kecil, tak hirau batu, meski sandal hilang.

Kala itu saya diberi ID Card sebagai panitia oleh pengurus pondok. Tetapi bingung apa tugas saya? Akhirnya saya hanya mondar mandir tidak pasti. Barulah ketika Presiden RI datang di lokasi, seorang polisi menarik tangan saya. "Mas, ayo bantu!" Saya ikut & digiringnya d tengah lautan manusia yang penuh sesak. Tidak saya sangka, polisi itu menempati saya di belakang Presiden, pas! Hingga telepon genggam saya berdering tidak henti-henti, karena sorotan kamera TV mengintai wajah saya.

Sambil merangkap tugas "pagar polisi" saya keluarkan alat perekam dan kamera untuk mengabadikan moment sejarah dunia ini. Semua pidato berhasil saya rekam, jasad alm. Gus Dur juga terbidik jelas saat dikebumikan. Meski saat itu saya masih gemetar sedih luar biasa. Airmata semakin deras ketika Gus Sholah memberi kata sambutan atas nama keluarga "Selamat jalan kakakku, pemimpinku, kami akan terus berjuang, semoga Allah memberi kita kekuatan."

Saya mengangkat kepala ke langit, saya yakin Tuhan juga menangis. Langit pun mulai gerimis kecil; kemarin, kini dan esok. Kejadian luar biasa itu tidak pernah kami lupakan. Ya, dimana semua manusia, alam, bahkan Tuhan menangis atas kepergiannya.

Hari inilah (31 Desember) dimana tokoh besar dunia, guru bangsa, bapak pluralisme, Presiden RI dikebumikan di Tebuireng. Keesokan harinya, kami diperintah untuk mencatat kiriman bunga (ucapan duka) yang ada di depan pesantren, 90 lebih dari berbagai kota. Maka selama tujuh hari kemudian, pesantren kami semakin banyak kedatangan tamu. Berkah! Ya, mereka mendoakan, Tuhan mengabulkan & berkah bersemayam.

Persiapan tujuh hari, kami diamanati untuk mengantar undangan ke banyak tokoh, diantaranya Kiai Maimoen Zubair di Sarang Rembang. Beliau bercerita bahwa Kiai Hasyim adalah sosok luar biasa yang tak tertandingi. Keluarga dan santrinya selalu memikirkan untuk sesama. Tak hanya berjuang untuk keluarganya, tetapi untuk agamanya, bangsanya dan semuanya. Itu sebabnya Pesantrennya berkah sepanjang masa.

Kami juga menemui alm. Kiai Abdullah Faqih di Pesantren Langitan, beliau dawuh "Saya bersama & iftiraq dengan Gus Dur hanya karena Allah taa'la." Selama tujuh hari itu bacaan Yasin & Tahlil terus berkumandang tiap malam. Banyak peziarah yang unik, mengambil tanah makam Gus Dur untuk kepentingan obat. Dan betul-betul mujarab terbukti sembuh, sehingga ditiru oleh peziarah-peziarah lain. Bahkan media/koran meliputnya. Akibatnya tanah makam berkurang.

Kondisi jalan raya depan pesantren kian ramai, terganggu memang tetapi bagi masyarakat yang pandai, menjadikan halaman rumah sebagai parkir. Mahasiswa di sini semakin rajin menulis, karena buku-buku tentang Gus Dur kala itu (dan kini) laku keras di pasaran baik tema keilmuan, humor, politik, sejarah atau biografi. Kala itu Majalah Tebuireng menerbitkan edisi khusus Gus Dur dan laku 6000 eksemplar padahal biasanya hanya cetak 2500 eks per-edisi dwi wulan.

Masyarakat lain yang masih belum memiliki pekerjaan, berdagang CD, kaos, poster, stiker, kalender Gus Dur meraup keuntungan besar. Warung-warung yang tadinya sepi bahkan gulung tikar, kini mulai digelar kembali. Produk dan pelanggan semakin tambah banyak. Alhasil, Gus Dur adalah sosok hamba Allah yang benar-benar dirahmati Allah; memberkahi lingkungan sekitarnya, baik kala hidup maupun setelah tiada. Kini tinggal bagaimana kita meniru beliau. Gus Dur; generasi ulama salaf dahulukan urusan rakyat.

Dari Gus Dur kami tahu bahwa manusia itu harus hidup humanis, rukun, saling kasih sayang kepada siapa saja. Karena rahmat tuhan pun tidak pilih-pilih. Terimakasih untuk semuanya, terutama keluarga alm. Gus Dur yang telah mengenalkan kita denganya; Alissa Wahid, Yenny Wahid, Anita Wahid, dan Nay wahid. Juga guru-guru kami, Gus Sholah, Gus Mus  Gus Nizam dan sahabat GUSDURians, khususnya Mas Nuruddin Hidayat. Semoga Tuhan memberkahi Gus Dur dan kita mampu meniru jejaknya; humanis, cinta damai, tulus, sabar-tegas, tidak dendam, cerdas, ideal. Amin.

* Penulis adalah santri Pesantren Tebuireng, Jombang.

Teologi Kebangsaan Gus Dur

Telah empat tahun, sejak 30 Desember 2009, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Namun warisan pemikiran dan perjuangannya tetap menerangi gerak hidup bangsa ini. Warisan tersebut memiliki keabadian, khususnya ketika negeri ini semakin terpuruk dalam perilaku hidup nan koruptif.

Bahkan sejak 1987, Gus Dur telah merumuskan “nilai keindonesiaan” yang unik dan mendasar. Menurutnya, “nilai yang paling Indonesia” ialah pencarian tak berkesudahan akan perubahan sosial tanpa memutus sama sekali ikatan dengan masa lalu. Artinya, keindonesiaan selalu bersifat praksis: perubahan sosial menuju kehidupan sosial manusiawi (human social life). Namun asa akan perubahan itu tak harus mencerabut bangsa ini dari akar kulturalnya sendiri.

Senyata, pengagum buku Etika Nikomacheia karya Aristoteles ini kemudian mempraktikkan perubahan sosial berdasarkan nilai kultural yang paling ia cintai: Islam. Oleh karenanya, tulisan ini akan mengajak kita menilik warisan Gus Dur paling berharga, yakni dasar-dasar keislaman bagi pandangan kebangsaan yang relevan hingga hari ini.

Etika Sosial

Dalam mendekati hubungan antara Islam dan bangsa, Gus Dur bersifat fungsional. Artinya, pertama, ia mendekati Islam berdasarkan fungsi agama ini sebagai pandangan hidup yang menebarkan kesejahteraan bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Menarik karena Gus Dur tidak memaknai kata rahmat sebagai kasih, melainkan kesejahteraan. Bagi Gus Dur, kasih mungkin bersifat abstrak. Sementara Islam adalah agama hukum yang memiliki kadar politik. Maka yang dipilih adalah kesejahteraan yang meniscayakan pemerintahan demokratis yang mampu mensejahterakan.

Gus Dur menempatkan Islam sebagai “agama kesejahteraan”, karena ia memahami Islam sebagai etika sosial. Dalam terang etis ini, kesempurnaan iman baru tercapai ketika seorang muslim memiliki kepedulian atas kaum miskin, selayak titah al-Baqarah:177. Kepedulian ini lahir dari pemuliaan Islam atas martabat manusia (QS 2:32), sehingga tujuan utama dari syariat Islam (maqashid al-syari’ah) sendiri adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia (al-kulliyat al-khamsah).

Kedua, fungsi negara sebagai alat bagi tujuan Islam. Ketika fungsi dan tujuan Islam adalah kesejahteraan rakyat (al-mashalih al-ra'iyah), maka negara menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karenanya, Gus Dur menggunakan kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan cara pencapaian). Jika sebuah negara (NKRI) bisa menjadi alat bagi tujuan Islam; bentuk dari negara itu tidak lagi penting. Apalagi jika di dalam dasar negara tersebut (Pancasila), termuat cita keadilan sosial yang sama dengan Islam.

Dengan demikian, Gus Dur bukan seorang sekularis, sebab meskipu mengritik teo-demokrasi al-Maududi misalnya, ia juga tak sepakat dengan sekularisme Ali Abdur Raziq. Kritik atas teo-demokrasi dan segenap ideal negara Islam terletak pada keterjebakan konsep tersebut di dalam hukum. Sebab negara hanya didekati dari sudut pandang formalisme hukum tanpa terkait dengan kualitas demokratis dari sistem politiknya. Sementara itu sekularisasi terkritik, karena ia telah melucuti sisi normatif Islam dan hanya menempatkan agama ini sebagai landasan filosofis dari negara.

Menurut Gus Dur, Indonesia telah melampaui dikotomi integrasi (negara-agama) dan separasi (negara tanpa agama) di atas, karena dua hal. Pertama, partikel hukum Islam telah dilembagakan di dalam hukum nasional. Melalui pengesahan pemerintan RI sebagai pemimpin darurat yang memiliki kewenenangan (waliy al-amri al-dlaruri bi al-syaukah), segenap syariat Islam sah diterapkan di negeri ini. Formalisasi syariat ini telah menghindarkan NKRI dari sekularisasi.

Kedua, ditegakkannya Islam sebagai etika sosial yang membentuk keadaban publik demi keadaban negara. Dalam rangka peran etis ini, Islam menubuh dalam struktur politik Indonesia melalui dua strategi. Pertama, penegakan etika politik melalui Pancasila. Artinya, Islam menjadi landasan etis bagi dasar negara. Ini yang Gus Dur maksud, "Pancasila adalah bangunan rumah, Islam menjadi aturan rumah tangga". Hal ini rasional sebab semua sila Pancasila bersifat Islami, dan lebib jauh, agama ini bisa menyempurnakan pandangan-dunia Pancasila melalui visi politik Islam yang lebih komprehensif.

Strategi kedua melalui gerakan sipil Islam (civil Islam). Artinya, politik Islam bermain di luar negara untuk mengimbangi negara. Dengan demikian, etika sosial Islam akhirnya menjelma etika publik yang digerakkan oleh gerakan Islam. Penempatan Islam sebagai gerakan sipil yang mengimbangi otoriterisme negara inilah yang membuat Islam Indonesia menjadi primadona bagi dunia Barat. Pada dekade 1990, puluhan Indonesianis melakukan pertaubatan metodologis akibat kemampuan Islam tradisional menjadi oposisi demokratik di Indonesia. Mitsuo Nakamura misalnya, menyebut Nahdlatul Ulama (NU) era Gus Dur sebagai "tradisionalisme radikal". Artinya berdasarkan tradisi, NU telah menggerakkan radikalisme politik. Kemampuan Islam memperjuangkan oposisi demokratik, tak lepas dari peran Gus Dur dalam mentransformasikan Islam sebagai etika sosial.

Dari sini bisa dipahami bahwa Gus Dur telah memperjuangkan politik Islam melalui demokrasi. Dan karena definisi demokrasinya adalah demokratisasi politik menuju struktur masyarakat berkeadilan. Maka perjuangan demokrasi Gus Dur tak terhenti pada proseduralisme politik (pemilu) melainkan demokratisasi (otoriterisme) negara demi keadilan sosial bagi rakyat yang papa. Visi ini secara substantif Islami, sebab Gus Dur memahami Islam sebagai "agama demokratik" karena memuat nilai syura (musyawarah), 'adalah (keadilan) dan musawah (persamaan).

Reorientasi Politik

Dari uraian di atas terpahami bahwa Gus Dur mengembangkan suatu nasionalisme Islam yang praksis. Artinya, ia tak hanya terhenti pada ketegangan teologis antara Islam dan negara, melainkan mempraksiskannya dalam perjuangan demokratik. Hal ini terjadi karena bagi Gus Dur, negara adalah alat bagi kesejahteraan rakyat. Strategi untuk mewujudkan hal itu adalah demokrasi. Pada titik ini posisi Islam sangat vital sebab menyediakan landasan etik bagi pembentukan struktur masyarakat yang adil.

Bercermin dari warisan berharga ini, umat Islam perlu melakukan reorientasi politik Islam. Dari orientasi formalis-simbolik, menuju perjuangan substantif-etis dengan menempatkan "keadilan politik" sebagai tujuan dari perjuangan Islam. Reorientasi ini akan menyelamatkan gerakan Islam dari peran tak strategis: menolak atau melegitimasi keadaan. Gus Dur telah membuktikan bahwa Islam memiliki ideal politik yang bisa diperjuangkan melalui keadaban demokratik. Ketidakmampuan atas hal ini akan mengukuhkan irrelevansi Islam dan menempatkan agama ini di pinggiran sejarah bangsanya sendiri.
Pengajar Mata Kuliah “Pemikiran Gus Dur” di Pascasarjana STAINU Jakarta

Dasar Politik Pesantren

Buku karya Ahmad Baso ini menceritakan bagaimana ilmu politik Indonesia tergerus sedikit demi sedikit yang menyebabkan keterputusan dengan tradisi dan kehilangan identitasnya. Semua itu bermula dengan adanya penjajahan. Menurut Baso, penjajahan bangsa asing, bukan hanya menyebabkan penderitaan rakyat di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, melainkan juga menyebabkan kita kehilangan ilmu politik asli bangsa Indonesia warisan leluhur. Dan penjajah mengisi kekosongan ilmu politik bangsa ini dengan ilmu politik mereka hingga dewasa ini. Indikasinya banyak kitab, buku yang dicuri dibawa oleh penjajah ke negaranya, sehingga banyak generasi kita selanjutnya terputus pengetahuan politiknya dengan tradisinya dan tanah airnya.

Tentunya di jaman penjajahan masih ada kitab politik Nusantara, kitab politik pesantren yang bisa diselamatkan. Tentunya masih ada politisi yang menjaga tradisi pengetahuan politik kebangsaan Nusantara. Mereka ini bukan hanya menyelamatkan kitab, tradisi tersebut, melainkan juga melakukan perjuangan, melawan penjajahan dalam segala bidang, perang fisik, perang politik, mempertahankan nilai sosial dan budaya di masyarakat.

Menurut Baso dalam buku ini, mereka ini teridentifikasi sebagai para Walisongo, penyebar agama Islam aswaja di Nusantara. Para wali ini pulalah kemudian yang menjadi pemula pendirian pondok pesantren, mengajarkan bentuk-bentuk gerakan perlawanan terhadap penjajahan, pelawanan fisik dan perlawanan metafisik. Dan ini diajarkan dan diteruskan kepada syekh, kiai, ustadz dan rakyat. 

Bentuk perlawanan fisik, salah satunya adalah uzlah. Jadi ketika wilayah pesisir dikuasai penjajah, mereka membentuk kuasa sendiri di pedalaman. Ketika kota pedalaman dikuasai penjajah pula, mereka membangun peradaban dan jaringan di desa dan di gunung.

Di desa dan gunung tersebut mereka mempertahankan sekaligus memperjuangkan politik kebangsaan, politik pesantren-aswaja menghadapi penjajah. Di desa dan gunung tersebut pula mereka membentuk sebuah peradaban, jaringan, masyarakat baru dengan melakukan koalisi dengan masyarakat Cina dan Eropa yang mempunyai kesamaan ide kebangsaan adalah mengelola hidup bersma secara baik jauh dari pada merusak.

Mereka membentuk kuasa tandingan, dengan memunculkan masyarakat, negara, kekuasaan dan raja tandingan-baru. Baso dalam buku ini mencontohkan gerakan politik kaum santri adalah dengan terbentuknya kekuasaan Pakubuwono II walaupun hanya beberapa saat. (Hlm 228-229)

Sementara itu bentuk perlawanan metafisik, adalah kekuatan ramalan. Mereka mengaksarakan dan mengoralkan ramalan tersebut pada rakyat Indonesia. Salah satunya adalah kekuatan ramalan Jayabaya menyebar di kalangan priyayi dan rakyat jelata. Ramalan tersebut bermuatan politik, kritik atas kondisi sosial-ekonomi kolonialisme, serta memberi harapan kepada rakyat akan masa depan kebangsaannya. 

Lantas apa isi dan visi politik pesantren? Baso menunjukkan bahwasannya dalam Babad Jaka Tingkir dijelaskan mengenai visi politik pesantren adalah ilmu politik ditujukan bukan untuk melayani penguasa, tapi mewakili suara rakyat dan menerjemahkan kebebasan politik mereka. Baso lantas menjustifikasinya, bukankah itu demokrasi? Pesantren sudah lama memunculkan ide kedaulatan rakyat dengan kosa kata kedaulatan wong kabeh, bahasa kaum santri paugeraningkaum santri, santri Bugis ratuna tau sibutta

Salah satu ciri dan dasar politik pesantren adalah selalu memuat rasa optimisme akan masa depan yang lebih baik, selalu berpikir positif di tengah kekejaman kolonialisme. Mereka juga melakukan pendidikan politik, terutama terhadap penguasa yang tidak adil, tidaklah menyebutnya sebagai orang yang terkutuk selama-lamanya. Tapi diberi peluang untuk bertobat, kembali ke masyarakat, memperbaiki kekeliruannya serta mengasah diri dari dalam kultur keadilan masyarakat, bukan dari dalam kraton/kekuasaan. 

Dari sinilah kemudian kaum santri memaknai politik itu bukan sesuatu yang dihindari karena kotor. Tapi justru kita diberi peluang untuk memperbaikinya, dari yang sifatnya personal hingga sistemik (perbaikan struktural-kelembagaan). Ini pula yang memberikan salah satu karakter ilmu politik pesantren visioner, transformatif, reformatif dan reflektif. Seperti penerjemahan patriotisme atau bela Nusantara adalah mensejahterakan desa dan orang-orang desa. (Hlm 377 dan 407).

Meskipun buku ini sepertinya halnya buku-buku Baso sebelumnya, selalu menampilkan kecerewetan dan kebinalan berlebihan. Buku ini memiliki relevansi sebagai bentuk kritik dengan kondisi perpolitikan kita, terutama dengan politik Islam di Indonesia. Bangsa Indonesia mengaku sebagai bangsa demokrasi. Bangsa ini juga mengaku melakoni semangat jamannya adalah orde reformasi. Namun nyatanya, demokrasi dan reformasi tidak mengurangi jumlah pengangguran, angka kemiskinan, malah yang terjadi korupsi menggila, utang negara naik tajam. Dengan demikian ada yang salah dari politik kebangsaan kita selama ini.

Politik dan politisi Islam di Indonesia sampai kini belum memberikan peran signifikan akan kesejahteraan, kedamaian pada rakyat. Mereka menampilkan kualitas berpolitik yang buruk. Mereka juga terseret arus liberalisasi politik yang menyebabkan mereka kehilangan identitas politiknya. Akhirnya, Baso, melalui bukunya ini, mengajak politisi dan calon politisi, mahasiswa Fisip untuk melakukan kritik diri, meluruskan niat, tujuan dan cara berpolitik secara bijak bukan sekedar mengkaji buku politik dan demokrasi dari Barat dan melupakan naskah politik Nusantara dan cara berpolitik kebangsaan para leluhur kita.

Judul Buku: Pesantren Studies, Buku Keempat; Khitah Republik Kaum Santri dan Masa Depan Ilmu Politik Nusantara, Juz Pertama; Akar Historis dan Fondasi Normatif Ilmu Politik-Kenegaraan Pesantren, Jaringan dan Pergerakannya Se-Nusantara Abad 17 dan 18

Penulis: Ahmad Baso
Penerbit: Pustaka Afid
Cetakan I: 2013
Tebal Buku: xvi + 437 Halaman
Harga Buku: Rp 100.000,00
Peresensi:  Muhamad Rifai, pembaca buku, tinggal di Temanggung Jawa Tengah

Menag: Awasi Pesantren NU, Strategi Melawan Terorisme Tak Tepat Akar terorisme ada di pemikiran. NU tak punya paham radikal.

VIVAnews – Menteri Agama Suryadharma Ali menilai strategi melawan teroris saat ini kurang tepat. Menurutnya, upaya melawan pemikiran radikalisme tidak fokus, sehingga berbagai kelompok radikal terus melakukan aksi teror.

“Contohnya pendekatan dan pengawasan pesantren yang tidak tepat. Kebanyakan yang diawasi Densus dan didekati BNPT itu pesantren NU,” kata Suryadharma di Jakarta, Minggu 5 Januari 2014.

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu mengatakan, banyak persepsi yang harus diluruskan. “Meski pendekatan dilakukan dengan kultur dan psikologi sosial masyarakat Nahdlatul Ulama, kalangan NU itu tidak radikal. NU bukan teroris. Tidak ada paham radikal di NU,” kata Suryadharma.

Ia berpendapat, pendekatan dialogis lebih penting dilakukan karena akar terorisme adalah pemikiran yang salah. “Saya imbau ulama Indonesia diberi peluang untuk dialog dan meluruskan pemahaman agama kelompok-kelompok radikal. Kami juga mendukung BNPT mengundang para ulama Arab untuk ikut berdialog,” ujar Suryadharma.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, sebelumnya mengatakan penanggulangan terorisme tak cukup dilakukan dengan penangkapan dan pemenjaraan, sebab akar masalah radikalisasi ada di pemikiran.

“Kita harus meluruskan pemikiran radikal yang jadi akar teror. Ini tidak bisa dilakukan dengan senjata. Ini hanya bisa dilakukan dengan dialog para ulama. Makanya kami mendatangkan ulama dari Mesir dan Yordania,” kata Ansyaad.

Para ulama yang khusus datang dari Timur Tengah untuk berdialog itu adalah Syekh Hisyam al-Najjar dan Syekh Najib Ibrahim – mantan petinggi Jamaah Islamiyah dari Mesir, serta Syekh Ali Hasan al-Khalaby – tokoh otoritas fatwa dari Yordania. “Ketiganya sengaja didatangkan karena fatwa mereka sering dijadikan jargon para teroris di Indonesia,” kata Ansyaad.

BNPT mencatat, sejak tahun 2000 sudah lebih dari 900 teroris ditangkap. Dari jumlah itu, 600 orang divonis penjara hingga hukuman mati. “Kenyataannya itu tidak efektif dan terorisme terus terjadi hingga kini,” ujar Ansyaad.